-
-
0
komentar
[ Read More ]
Waktu itu musim gugur, seorang suku indian di daerah terpencil bertanya pada kepala suku mereka yang baru. "Wala-wala chimo-ela suma totangka obuawachi ?" yang artinya, " kepala suku, apakah musim dingin kali ini akan sangat dingin atau seperti biasanya ? Karena kepala suku ini modern, dia tidak pernah belajar meramal cuaca dengan cara-cara kuno lagi. Ketika melihat ke atas, ia tidak dapat mengatakan bagaimana nantinya keadaan cuaca, meskipun begitu, supaya aman, ia mengatakan bahwa musim dingin nantinya akan terasa dingin, sehingga ia menyuruh warganya untuk mengumpulkan kayu bakar untuk persiapan musim dingin.
Namun setelah beberapa hari, muncul idenya untuk menelepon layanan perkiraan cuaca, dan menanyakan , "Apakah musim dingin kali ini akan sangat dingin atau tidak ?" " kelihatannya musim dingin kali ini akan sangat dingin," kata petugas di layanan perkiraan cuaca tersebut. Kemudian kepala suku kembali dan menyuruh warganya untuk mengumpulkan kayu lebih banyak lagi untuk persiapan.
Seminggu kemudian dia menelepon kembali layanan perkiraan cuaca. " Apakah musim dingin kali ini akan sangat dingin ?" " iya," jawab orang di layanan perkiraan cuaca tersebut, " musim dingin kali ini akan sangaaaat dingin !" kepala suku kembali dan menyuruh warganya untuk mengumpulan semua kayu dan ranting pohon yang mereka temukan.
Dua minggu kemudian dia menelepon kembali dan bertanya, " Apakah anda yakin bahwa musim dingin kali ini akan sangat dingin ?". " Pasti", jawab orang di layanan perkiraan cuaca tersebut, " kelihatannya akan jadi musim dingin yang paling dingin yang pernah ada." "kenapa anda begitu yakin ?" tanya kepala suku. " karena para suku indian sedang mengumpulan kayu bakar dalam jumlah yang gila-gilaan".
Posted by Art of Living
-
-
1 komentar
[ Read More ]
Dhamma berarti "kebenaran universal" yang ditemukan Sang Buddha. Dhamma tetap ada walaupun Sang Tathagatha ( sebutan Buddha untuk dirinya sendiri ) ada/hadir di dunia ini ataupun tidak. Dhamma adalah kebenaran yang berada di alam semesta ini tidak terkecuali apakah seseorang mengakui atau tidak, mengetahui atau tidak, kebenaran ini akan tetap ada.
Ada dua macam kebenaran
1, Kebenaran mutlak : kebenaran yang berlaku bagi siapapun dan apapun tanpa tergantung tempat, waktu dan kondisi. Segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal, bersifat timbul dan tenggelam, setelah lahir kemudian hancur. Semua yang berawal, pasti ada akhir.
2, Kebenaran relatif : kebenaran yang tergantung tempat, waktu dan kondisi. Misalnya hukum gravitasi dimana ketika semua benda dilepaskan di bumi akan jatuh ke bawah, tetapi tidak ketika diletakkan di luar angkasa.
Di alam semesta ini, ada begitu banyak kebenaran. Tetapi Buddha mengajarkan kebenaran yang lebih bermanfaat untuk semua makhluk. Kebenaran yang akan mengantarkan seseorang untuk dapat mengenali kebenaran-kebenaran lainnya dengan benar. Yaitu, Kebenaran tentang Empat Kebenaran Mulia.
Empat Kebenaran Mulia
(1). Kebenaran tentang dukkha.
(2). Kebenaran tentang asal dukkha.
(3). Kebenaran tentang musnahnya dukkha.
(4). Kebenaran tentang jalan manuju lenyapnya dukkha, yaitu, Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Kebenaran Mulia Pertama : Dukkha - Hakekat kehidupan adalah dukkha.
Kondisi kehidupan yang kita jalani pada hakikatnya adalah dukkha. Ini merupakan pandangan Sang Buddha mengenai kehidupan dalam bentuk apapun juga. Dikarenakan, semua bentuk atau ciri kehidupan yang ada di alam semesta ini sifatnya "selalu berubah". Oleh karena itulah sebaiknya manusia dengan bijaksana menerima hal ini sebagai sebuah kewajaran yang alami.
Dukkha 1
Dukkha sebagai sebuah penderitaan yang nyata. Manusia lahir, tua, menderita sakit dan mati. Lalu terlahir kembali untuk mengulang penderitaan ini.
Dukkha 2
Dukkha sebagai sebuah penderitaan karena adanya perubahan-perubahan seperti senang, puas, terkadang sedih, jengkel tidak terpuaskan; berkumpul dengan orang yang dicintai tetapi tidak cukup lama adalah dukkha, mendapatkan apa yang tak diinginkan adalah dukkha, mendapatkan apa yang diinginkan tetapi tidak cukup banyak adalah dukkha, berkumpul dengan orang yang dibenci adalah dukkha, postur tubuh yang tidak sesuai adalah dukkha.
Dukkha 3
Dukkha sebagai penderitaan yang disebabkan adanya keadaan yang berkondisi, karena perpaduan lima kelompok kehidupan; memiliki indera akan mengalami penderitaan karena adanya kontak, memiliki kesadaran, akan menyadari hal-hal yang tidak menyenangkan, memiliki ingatan akan pengalaman/trauma masa lalu, stres memikirkan masa depan, pikiran-pikiran yang tak terkendali akan mengalami kesedihan.
Kebenaran Mulia Kedua : Tanha - Sumber dari dukkha adalah Tanha.
Penyebab dukkha adalah Tanha atau nafsu keinginan yang melekat, yang didasari oleh keserakahan ( lobha ), kebencian ( dosa ), dan kebodohan ( moha ).
Tanha 1
Nafsu keinginan yang membawa pada kehausan akan kenikmatan-kenikmatan indera, seperti sentuhan sensual, pandangan akan sesuatu yang erotis, atau mulut yang bagai sumur tak ada dasar, makan apa saja beberapa jam kemudian makan lagi.
Tanha 2
Nafsu keinginan yang mengakibatkan kehausan untuk memiliki, selalu tidak puas dengan apa yang sudah dimiliki, ingin terus perbanyak, kehausan yang menyebabkan kelahiran terus berputar dan berputar.
Tanha 3
Nafsu keinginan yang mengakibatkan kehausan untuk menyingkirkan sesuatu, menyingkirkan yang dibenci sampai timbulnya hasrat untuk melarikan diri dari suatu masalah, sampai pada keinginan untuk memusnahkan diri dengan berpikir setelah mati maka berakhirlah semua penderitaan yang dialaminya.
Kebenaran Mulia ketiga : Nirodha - Padamnya nafsu keinginan, berakhirnya dukkha - Nibbana.
Bahwa penderitaan yang menguasai kehidupan kita secara berulang ini, bisa dihentikan dengan membuang penyebabnya sehingga terbebas dari belenggu tanha yang mengikat dan mencapai Nibbana. Buddha mendeklarasikan bahwa "Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi". Dalam Aggivacchagotta Sutta Buddha mengumpamakan Parinibbana dengan sebuah nyala api yang tergantung pada kayu dan rumput yang menjadi padam ketika kayu dan rumput tersebut habis terbakar. Menanyakan apakah api tersebut pergi ke utara, selatan, timur, atau barat adalah tidak sesuai untuk kasus ini. Nibbana dicapai dengan penghentian secara total kekotoran-kekotoran batin yang memberikan pembebasan sempurna dari dukkha, pembasmian terhadap kesalahan "aku" dan penghancuran terhadap kerakusan, kebencian dan delusi.
Kebenaran Mulia keempat : Maggha - Jalan menuju berakhirnya penderitaan, yaitu - Jalan Mulia Berunsur Delapan.
1, Pandangan benar.
2, Pikiran benar.
3, ucapan benar.
4, Perbuatab benar.
5, Mata pencaharian benar.
6, Daya upaya benar
7, Perhatian benar.
8, Konsentrasi benar.
1 : Pandangan benar
Memiliki pandangan atau pengertian benar adalah memahami segala sesuatu sebagaimana adanya sesuai dengan realita yang ada, mengerti Ajaran Empat Kebenaran Mulia, juga diartikan memiliki pandangan atau pengertian benar terhadap hukum karma, hukum tilakhana, hukum sebab akibat.
Hukum tilakana/3 corak kehidupan
Anicca- adalah tentang kenyataan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini tidak kekal dan selalu berubah.
Dukkha- adalah tentang kenyataan bahwa segala sesuatu yang berkondisi dan berubah terus-menerus adalah tidak memuaskan, tidak dapat memuaskan seluruh hasrat/keinginan kita dengan sempurna. Orang bijaksana tidak seharusnya menderita karena adanya perubahan-perubahan dalam kehidupannya.
Anatta- adalah tentang kenyataan bahwa segala sesuatu baik yang berkondisi dan tidak berkondisi adalah bukan aku. Kenyataan bahwa kita tidak bisa mengontrol tubuh jasmani ini seperti yang kita inginkan ; tidak menjadi sakit/terserang penyakit, tidak menjadi tua/lapuk, terus rupawan. Bahkan menjaga batin agar selamanya bahagia, senang dan tidak berduka menandakan diri ini bukanlah sang aku, bukan milik-ku. Orang bijaksana akan menghindari bentuk- bentuk pengakuan diri karena segala sesuatu pada saatnya akan berubah.
Hukum sebab-akibat
Hukum sebab-musabab yang saling bergantungan. "Dengan adanya ini, maka terjadilah itu. Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu. Dengan padamnya ini, maka padamlah itu". Pengetahuan ini ditemukan Buddha Gautama dalam perenungan Beliau pada minggu-minggu pertama setelah pencapaian Penerangan Sempurna.
Lima hukum alam : semua fenomena di alam semesta ini bekerja menurut salah satu dasar dari lima hukum alam ini
1, Hukum-hukum fisika berkaitan dengan energi yang mengatur terbentuk dan hancurnya segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta (utu-niyama).
2, Hukum-hukum biologis berkaitan dengan biologis semua aspek makhluk hidup (bija-niyama).
3, Hukum-hukum psikologik yang mengatur fungsi-fungsi kesadaran dan fenomena ekstrasensorik atau kekuatan pikiran (citta-niyama).
4, Hukum-hukum sebab dan akibat dari perbuatan (kamma-niyama).
5, Hukum-hukum semesta yang mengatur segala sesuatu di luar empat hukum di atas (dhamma-niyama).
2 : Pikiran benar
Pikiran adalah dasar dari segala sesuatu yang kita kerjakan, jadi memiliki pikiran yang benar dan murni merupakan hal yang penting karena akan mempengaruhi apa yang akan kita lakukan.
3 : Ucapan benar
Menjaga ucapan agar selalu benar, mengandung kebenaran, tepat waktu. Berarti menjauhkan diri dari ucapan jahat, atau desas-desus, tidak menyebabkan ketidakharmonisan atau perpecahan diantara orang-orang. Hendaklah ucapan seyogianya tidak merugikan/menyakiti makhluk lain.
4 : Perbuatan benar
Perbuatan benar berarti tidak melakukan kesalahan dengan badan jasmani : yaitu, menjauhkan diri dari melakukan pembunuhan -- tidak menghilangkan kehidupan (nyawa) semua makhluk hidup (secara langsung, maupun tidak langsung).
Menjauhkan diri dari melakukan pencurian -- tidak mengambil apa yang tidak diberikan.
Menjauhkan diri dari melakukan pelanggaran seksual -- tidak melakukan perbuatan seksual (diluar pernikahan).
5 : Mata pencaharian (penghidupan) benar
Mata pencaharian benar ialah yang tidak tercela, hendaknya menghindari kecurangan, penujuman, penipuan dan perdagangan yang merugikan makhluk lainnya : penjualan manusia, membesarkan binatang untuk dijual guna disembelih, senjata-senjata untuk membunuh, minuman keras dan obat-obat terlarang, juga racun yang digunakan untuk membunuh.
6 : Usaha benar
Usaha benar memiliki empat komponen :
(a) usaha untuk membuang pikiran-pikiran jahat yang telah muncul.
(b) usaha untuk mencegah munculnya pikiran jahat yang belum muncul.
(c) usaha untuk memunculkan pikiran-pikiran baik yang belum muncul, dan
(d) usaha untuk mengembangkan pikiran-pikiran baik yang telah muncul.
Yang dimaksud dengan pikiran jahat ialah pikiran yang diliputi keterikatan, delusi, sifat tidak tahu malu, kesombongan, kebencian, kedengkian, kecemburuan (sifat iri hati), kikir, ketidaktenangan dll.
Yang dimaksud dengan pikiran baik ialah pikiran yang tanpa keterikatan, tahu malu, percaya diri, penuh kesadaran, sikap hangat (persahabatan), ketenangan dll.
7 : Perhatian benar
Perhatian Benar adalah perhatian yang konstan pada :
(a) tubuh -- apa saja yang dilakukannya.
(b) perasaan -- apakah menyenangkan, tidakmenyenangkan, atau netral.
(c) keadaan -- keadaan batin, objek-objek batin.
(d) pikiran -- keadaan pikiran, apakah sedang fokus, mengembara atau panik.
Selanjutnya setelah perhstian/perenungan itu, orang tersebut sadar terhadap batin dan jasmaninya, "aku" yang mana paling penting dan perlu untuk menyadari tiga karakteristik keberadaan, bahwa segala sesuatu itu tidak permanen, dukkha, dan tanpa inti diri yang terpisah.
8 : Konsentrasi benar
Konsentrasi yang benar adalah ketika kita dapat mempertahankan perhatian kita secara terus-menerus terhadap permasalahan (objek).
Adalah perlu untuk mengembangkan konsentrasi (samadhi) karena pikiran yang tidak terkonsentrasi, dikuasai oleh lima rintangan --- keinginan sensual, kehendak yang tidak sehat, kemalasan/keengganan, kegelisahan/kekhawatiran dan keragu-raguan (tidak bisa mengambil keputusan) --- sehingga seseorang tidak melihat hal-hal (benda-benda) sebagaimana adanya dan dengan demikian tidak dapat memperoleh pandangan atau pengetahuan yang tinggi.
Pikiran yang tidak terlatih, liar dan tidak tenang --- seperti kuda liar. Ia perlu dijinakkan sebelum dapat digunakan. Dalam Samyutta Nikaya Buddha mengumpamakan pikiran (kesadaran) dengan enam binatang (ular, buaya, burung, anjing, serigala dan monyet) yang diikat bersama, tetapi masing-masing selalu bergerak menuju arah berbeda. Mereka harus diikat pada satu tiang sehingga tidak bisa pergi. Demikian kata Buddha, dalam meditasi kita mengikat pikiran (perhatian) kita hanya pada satu objek meditasi tertentu supaya akhirnya pikiran berhenti berlari, tidak keluar melalui enam pintu indera dan menjadi terpusat pada objek meditasi.
Metode meditasi yang diajarkan oleh Buddha (salah satunya) adalah perhatian penuh pada pernapasan, yang juga merupakan metode yang digunakan sendiri oleh Yang Diberkahi (Buddha Gautama). Ini merupakan suatu metode universal yang cocok untuk semua orang. Dalam metode ini orang mencurahkan perhatiannya pada napasnya ketika ia datang (masuk) dan pergi (keluar) melalui lubang hidung, supaya pikiran secara berangsur-angsur mencapai konsentrasi. Ketika seseorang mempraktikan meditasi, dia akan menyadari pentingnya meninggalkan keduniawian. Suatu pikiran yang terarah pada masalah-masalah dunia selalu terseret oleh pemikiran-pemikiran asing (yang tidak penting) dan tidak dapat menjadi terpusat.
Posted by Art of Living
-
-
0
komentar
[ Read More ]
SABDA-SABDA BUDDHA GOTAMA
DHAMMAPADA
SYAIR-SYAIR KEMBAR (Bagian pertama Dhammapada)
(1).
Seperti perbuatan (buruk) didahului oleh pikiran, dipimpin oleh pikiran, dan dihasilkan oleh pikiran. Bila seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran tidak suci, penderitaan pun akan mengikuti, seperti roda pedati mengikuti jejak lembu yang menariknya.
(2).
Segala perbuatan (baik) didahului oleh pikiran, dipimpin oleh pikiran dan dihasilkan oleh pikiran. Bila seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran suci, kebahagiaan pun akan mengikuti, seperti bayang-bayang tak pernah meninggalkan dirinya.
(3).
"Ia menghinaku, ia memukulku, ia mengalahkanku, ia merampas milikku," kebencian dalam diri mereka yang diracuni pikiran-pikiran seperti itu, tak akan pernah berakhir.
(4).
"Ia menghinaku, ia memukulku, ia mengalahkanku, ia merampas milikku," kebencian dalam diri mereka yang telah bebas dari pikiran-pikiran seperti itu, akan segera berakhir.
(5).
Di dunia ini, kebencian tak dapat dipadamkan melalui kebencian, kebencian hanya dapat dipadamkan melalui cinta kasih. Inilah hukum yang berlaku sepanjang masa*
*) Hukum abadi yang telah dipahami dan dijalankan buddha.
(6).
Banyak orang tidak sadar bahwa permusuhan berujung kebinasaan, mereka yang telah sadar akan segera mengakhiri permusuhan.
(7).
Orang yang hidupnya selalu mencari kesenangan*, indra-indranya yang tak terkendali, makan berlebih-lebihan, malas, dan lemah hati, orang itu seperti terjerat oleh mara**, bagaikan angin menumbangkan pohon yang lapuk.
*) Menyukai sentuhan sensual yang memberi kenikmatan.
**) disini 'mara' berarti nafsu.
(8).
Mara* tak berdaya menjerat orang yang pikirannya tidak terikat oleh kesenangan-kesenangan, indra-indranya terkendali, makannya sederhana, penuh keyakinan** dan tekun merenungkan "ketidakmurnian" ***, seperti angin tidak mampu menggoyahkan sebuah gunung.
*). Disini 'mara' artinya nafsu.
**). Keyakinan pada Buddha (Guru), Dhamma (Ajaran), dan Sangha (Persamuhan), yang berlandaskan pengertian,. Tidak ada kepercayaan membuta dalam Buddhisme, seseorang tidak dianjurkan untuk menerima sesuatu hana berdasarkan kepercayaan semata.
***) Perenungan ini antara lain mengambil obyek 'ketigapuluh-dua bagian tubuh'.
(9).
Orang yang belum terbebas dari noda, yang tak mampu mengendalikan diri, dan tak mengerti kebenaran, tidak layak mengenakan jubah kuning.
(10).
Sesungguhnya ia yang telah membuang segala noda, berkelakuan baik, memiliki pengendalian diri dan ketulusan, dialah orang yang layak mengenakan jubah kuning.
(11).
Mereka yang menganggap ketidakbeneran sebagai kebenaran, dan menganggap kebenaran* sebagai ketidakbeneran, mereka yang terus terombang-ambing dalam pikiran keliru** seperti ini, mereka tak akan pernah dapat melihat intisari sesungguhnya.
*). Kebenaran, seperti pandangan benar (samma ditthi), moralitas (sila), konsentrasi (samadhi), kebijaksanaan (panna) dsb. Manfaat suatu kehidupan suci tidak dapat dicapai dengan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan.
**). Pikiran keliru, yaitu nafsu (kama), itikad jahat (vyapada), dan kekerasam (vihimsa).
(12).
Tapi mereka yang mengetahui kebenaran sebagai kebenaran, dan ketidakbeneran sebagai ketidakbeneran, mereka yang bersemayam dalam pikiran benar* dapat menyadari intisari sebenarnya.
*). Pikiran benar, pelepasan (nekkhamma), kasih sayang (avyapada), dan kelembutan (avihimsa).
(13).
Seperti hujan menembus rumah beratap tiris, begitulah nafsu dengan mudah merasuk ke dalam pikiran yang tidak terlatih.
(14).
Seperti hujan tidak dapat menembus rumah beratap kuat, begitulah nafsu tak kuasa merasuk ke dalam pikiran yang terlatih.
(15).
Di kehidupan ini ia menderita, di kelahiran berikutnya ia menderita. Pembuat kejahatan menderita di alam kehidupan ini maupun alam kehidupan berikutnya dan merana melihat hasil perbuatan buruknya.
(16).
Di kehidupan ini ia bahagia, begitu pula di kehidupan berikutnya ia bahagia, pembuat kebajikan berbahagia di kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya dan merasa berbahagia setelah melihat hasil perbuatan baiknya.
(17).
Di alam ini ia bersedih, di alam berikutnya ia bersedih, pembuat kejahatan bersedih hati di alam kehidupan ini maupun di alam kehidupan berikutnya dan ia bersedih mengingat kejahatan yang telah dilakukan, terlebih setelah jatuh ke dalam penderitaan.
(18).
Di alam ini ia berbahagia, di alam berkutnya ia berbahagia, pembuat kebajikan bergembira di alam kehidupan ini maupun di alam kehidupan berikutnya dan ia bergembira mengingat kebajikan yang telah dilakukan, terlebih setelah mengecap kebahagiaan.
(19).
Orang yang meskipun banyak membaca kitab suci, tapi tidak berbuat sesuai Ajaran, seperti gembala yang menghitung sapi milik orang lain, tidak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.
(20).
Orang yang meskipun sedikit membaca kitab suci, tapi berbuat sesuai Ajaran, menyingkirkan nafsu, kebencian, dan kebodohan, memiliki pengetahuan benar, batin yang bebas, dan tidak terikat pada kehidupan sekarang maupun yang akan datang; akan memperoleh kehidupan suci.
Posted by Art of Living
-
-
0
komentar
[ Read More ]
Ini adalah bagian 2 Dhammapada
(21).
Kesadaran itu jalan menuju kekekalan, kelengahan adalah jalan kehancuran. Yang sadar tidak akan mati*, yang lengah meskipun hidup, tapi seakan-akan telah mati.
*). Yang dimaksud dengan tidak akan mati adalah, bila seseorang telah mencapai Nirwana , ia tidak akan terlahir kembali (yang dengan sendirinya tidak akan mengalami kematian lagi).
(22).
Mengerti dengan jelas antara sadar dan tidak sadar, orang bijaksana akan berbahagia dalam kesadaran, dan menikmati jalan kehidupan para ariya*.
*). Ariya, disini artinya orang suci seperti para Buddha dan Arahat. Alam para ariya berarti tigapuluh tujuh faktor pencerahan (Bodhipakkhiyadhamma) dan sembilan keadaan adiduniawi, lihat syair 44 dan 115.
(23).
Mereka yang senantiasa berupaya, ulet dan tekun bermeditasi* , akan mencapai Nibbana, bebas dari segala ikatan, suatu kebahagiaan tertinggi.
*). Meditasi, disini mencakup konsentrasi (samatha) dan perenungan (vipassana).
(24).
Makin bertambahlah kemuliaan orang yang senantiasa hidup penuh semangat, waspada, bertindak bajik dan bijaksana, mampu mengendalikan diri, menempuh kehidupan benar, dan penuh kesadaran.
(25).
Dengan upaya, kesungguhan, disiplin dan pengendalian diri, orang bijaksana membuat pulau* bagi dirinya sendiri yang tidak dapat tenggelam oleh banjir.
*). Orang bijaksana (Arahat), membuat pulau yang melindungi dirinya dari banjir kesenangan indra-indra, pandangan salah, keinginan untuk terlahir kembali (bhava-tanha), dan kebodohan.
(26).
Orang dungu terlena dalam kelengahan, tapi orang bijaksana menjaga kesadarannya sebagai harta yang paling berharga.
(27).
Jangan terlena dalam kelengahan, jangan terjerat oleh kesenangan-kesenangan indra. Orang yang penuh kesadaran dan tekun bermeditasi, akan berlimpah kebahagiaan.
(28).
Ketika orang bijaksana menyingkirkan kelengahan melalui kesadaran, ia (yang telah bebas dari penderitaan ini) akan mencapai menara kebijaksanaan, tatapannya terhadap mereka yang lengah, ibarat pendaki ulung memandang lembah ketidaktahuan yang tidak kelihatan dasarnya dari puncak sebuah gunung*
*). Para Arahat, yang telah bebas dari penderitaan, memandang dengan mata batin yang penuh welas asih pada mereka yang diliputi ketidaktahuan, yang masih terjerat dalam lingkaran kelahiran, dan belum terbebas dari penderitaan.
(29).
Sadar di antara yang lengah, terjaga di antara yang mengantuk. Orang bijaksana maju terus, seperti seekor kuda pacuan berlari meninggalkan kuda tua di belakangnya.
(30).
Dengan kesadarannya, Maghava* menjadi pemimpin para dewa. Kesadarannya senantiasa dipuji, seperti kelengahan akan selalu tercela.
*). Maghava, adalah nama lain dari dewa Sakka, raja para dewa ( Deva, makhluk hidup yang memiliki badan halus).
(31).
Bikhu yang merasa gembira dalam kesadaran, dan memandang kelengahan dengan rasa takut, akan maju terus seperti api yang membakar semua ikatan, besar dan kecil.
(32).
Bikhu yang merasa gembira dalam kesadaran, dan memandang kelengahan dengan rasa takut, tak akan terperosok lagi. Ia telah berada di ambang Nirwana.
Posted by Art of Living
-
-
0
komentar
[ Read More ]
Ini adalah bagian ke 3 Dhammapada
(33).
Pikiran itu sungguh tidak tetap dan berubah-rubah, sukar di kendalikan dan sulit di jaga, orang bijaksana meluruskannya, seperti pembuat panah meluruskan sebatang anak panah.
(34).
Seperti ikan yang dikeluarkan dari air lalu dilemparkan ke tanah, pikiran terus menggelepar-gelepar. (oleh karenanya) kekuasaan nafsu itu mesti di taklukkan.
(35).
Pikiran itu sulit diterka, bergerak cepat, mengembara sesukanya, mengendalikannya adalah baik; pikiran yang terkendali akan membawa kebahagiaan.
(36).
Pikiran itu sulit diawasi, teramat halus, mengembara sesukanya. Lihatlah betapa orang bijaksana menjaganya; pikiran yang terjaga baik akan membawa kebahagiaan.
(37).
Jauh sungguh, pikiran mengembara sendirian, tak berujud, tersembunyi di dalam lubuk hati*. Mereka yang bisa menjinakkannya, niscaya terbebas dari belenggu mara.
*). Gudang kesadaran.
(38).
Ia yang pikirannya selalu goyah, yang tidak mengenal Ajaran Mulia, dan tidak teguh keyakinannya, kebijaksanaannya tak akan pernah sempurna.
(39).
Ia yang pikirannya tidak terkukung (oleh nafsu),
Ia yang tidak ternoda (oleh kebencian),
Ia yang telah mengatasi baik dan buruk;
Bagi mereka yang telah 'bangun' * , tak ada lagi rasa takut.
*). Arahat telah mengatasi baik dan buruk, karena tiap tindakannya tidak lagi berbuah (kammaphala). Disebut telah 'bangun' , karena setelah mencapai kearahatan, dalam diri seseorang akan selalu terdapat keyakinan, semangat, kesadaran, konsentrasi, dan kebijaksanaan.
(40).
Menyadari bahwa tubuh ini (rapuh) seperti tempayan; memperkuat pikiran ini (kokoh) seperti benteng kota; hendaknya ia menumpas Mara dengan senjata kebijaksanaan; hendaknya ia menjaga apa yang telah dicapainya, dan hidup tanpa ikatan lagi.
(41).
Oh, tak lama lagi tubuh ini akan terbujur kaku di tanah; dibiabrkan saja, tanpa kesadaran, seperti batang kayu tak berguna.
(42).
Betapapun (berbahayanya) dua orang saling bermusuhan atau saling membenci, pikiran yang sakit* akan lebih berbahaya.
*). Pikiran yang mendorong ke arah sepuluh perbuatan jahat (Akusala) 1. Membunuh, 2. Mencuri, 3. Berzinah, 4. Berbohong, 5. Memfitnah, 6. Berkata kasar, 7. Omong kosong, 8. Tamak, 9. Mendendam, 10. Berpandangan salah.
(43).
Betapapun (berartinya) seorang ibu, ayah dan sanak keluarga, pikiran yang sehat* lebih berarti bagi kemajuan diri.
*). Pikiran yang mendorong ke arah sepuluh perbuatan baik (Kusala) 1. Murah hati (berdana), 2. Mentaati sila, 3. Bermeditasi, 4. Rendah hati, 5. Berbakti, 6. Menyalurkan pahala kebajikan, 7. Turut bergembira atas kebahagiaan orang lain, 8. Mendengarkan Dharma, 9. Mengajarkan Dharma, 10. Meluruskan pandangan salah.
Posted by Art of Living
-
-
0
komentar
Ini adalah bagian ke 4 Dhammapada
[ Read More ]
(44).
Siapakah yang dapat menaklukkan dunia (diri) ini, beserta alam yama, dewa dan manusia ?
Siapakah yang akan menemukan jalan kebajikan* nan sempurna, seperti seorang ahli (merangkai bunga) memilih bunga ?
*). Jalan kebajikan diartikan sebagai tigapuluh-tujuh faktor kesadaran agung. Menaklukkan diri berarti hakekat diri ini. Alam yama terdiri dari 4 alam kehidupan yang menyedihkan, yaitu: neraka, alam binatang, alam pete (makhluk halus yang menderita), dan alam Asura (raksasa).
(45).
Orang suci-lah yang akan menaklukkan dunia (diri) ini, beserta alam yama, dewa dan manusia.
Orang suci-lah yang akan menemukan jalan kebajikan nan sempurna, seperti seorang ahli (merangkai bunga) memilih bunga.
(46).
Mengetahui bahwasanya tubuh ini seperti buih, dan menyadari sebagai bayangan fatamorgana* , hendaklah orang mematahkan tangkai-tangkai bunga nafsu (mara) , dan melepaskan diri dari incaran raja kematian.
*). Hakekat tubuh ini selalu berubah dengan cepat (Anicca), tidak ada inti yang kekal di dalamnya (Anatta).
(47).
Orang yang mengumpulkan bunga-bunga nafsu, yang pikirannya bercabang-cabang, kematian akan menyeretnya seperti banjir menghanyutkan desa yang tertidur.
(48).
Orang yang mengumpulkan bunga-bunga nafsu, yang pikirannya bercabang-cabang, dan keinginannya tak pernah terpuaskan, maut pun akan menjemputnya.
(49).
Seperti lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun harumnya, pergi lagi setelah menghirup madu, begitulah hendaknya orang bijaksana berkelana di tengah masyarakat.
(50).
Ia hendaknya tidak memperhatikan kesalahan-kesalahan orang lain, apa yang diperbuat dan tidak dibuat, melainkan memperhatikan apa yang dibuat dan tidak diperbuat diri sendiri.
(51).
Seperti kuntum bunga yang indah, tapi tiada harum baunya, begitu sia-sianya kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.
(52).
Seperti kuntum bunga yang indah, harum semerbak, begitulah kata-?kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya, sungguh bermanfaat.
(53).
Seperti rangkaian bunga yang terdiri dari kumpulan bunga-bungaan, begitulah hendaknya kebajikan-kebajikan dilakukan orang sepanjang hidupnya.
(54).
Semerbaknya bunga tak dapat menentang arah angin, begitupun harum kayu cendana, bunga tegara dan melati. Semerbak kebajikan bertiup menentang arah angin; harumnya menyebar ke segala arah.
(55).
Kayu cendana, bunga tegara, teratai dan melati, dari semua jenis wewangian ini, harumnya kebajikan tiada yang dapat menandingi.
(56).
Tidaklah seberapa harumnya bunga tegara atau kayu cendana. Tapi semerbak kebajikan sungguh mempesona, bahkan sampai ke alam dewa.
(57).
Mara tak lagi dapat menemukan jejak mereka yang dipenuhi kebajikan, hidup penuh kesadaran, dan berdasarkan pandangan terang, telah terbebas.
(58,59).
Seperti dari onggokan sampah yang dibuang di pinggir jalan, tumbuh bunga teratai, harum semerbak indah dipandang.
Begitu pula di antara mereka yang tersesat, siswa Buddha bersinar cemerlang, menerangi dunia yang gelap dengan kebijaksanaannya.
Posted by Art of Living
-
-
0
komentar
Ini adalah bagian ke 5 Dhammapada
[ Read More ]
(60).
Malam terasa panjang bagi mereka yang terjaga, jalan terasa jauh bagi mereka yang penat; sungguh panjang samsara* bagi si dungu yang tak mengenal hukum kesunyataan.
*). Samsara, secara harafiah berarti mengembara tiada henti di lautan kehidupan, dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya, dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya.
(61).
Bila seorang pengembara tidak menemukan teman yang lebih baik atau sepadan dengan dirinya, hendaklah ia meneruskan perjalanan seorang diri. Jangan berteman* dengan orang-orang dungu**.
*). Moralitas yang tinggi, perenungan, jalan dan buah kesucian. Tidak satu pun kebajikan itu yang ditemukan dalam diri seorang dungu.
**). Berdasarkan welas asih dan untuk menolong mereka, seseorang boleh saja berhubungan dengan orang dungu, sepanjang batinnya tidak ikut tercemar.
(62).
"Aku memiliki anak, aku memiliki kekayaan", begitulah si dungu resah gelisah, diri sendiri pun bukan kepunyaannya, apalagi anak, maupun kekayaannya.
(63).
Orang dungu yang menyadari kebodohannya, sesungguhnya adalah seorang yang bijaksana. Si dungu yang menganggap dirinya bijaksana, sesungguhnyalah ia yang disebut orang dungu.
(64).
Meskipun sepanjang hidupnya bergaul dengan orang bijaksana, si dungu tidak akan lebih mengerti dhamma, seperti sendok yang tidak dapat menikmati rasa masakan.
(65).
Meskipun hanya sebentar bergaul dengan orang bijaksana, seorang pandai akan segera mengerti dhamma, seperti lidah yang dapat menikmati rasa masakan.
(66).
Si dungu yang rendah budi, berkelana dengan dirinya sendiri sebagai musuh, berbuat kejahatan yang juga membuahkan permusuhan.
(67).
Perbuatan itu tidak baik, jika setelah dilakukan, menimbulkan penyesalan dan membuahkan tangis, di wajah berlinang air mata.
(68).
Perbuatan itu baik, jika setelah dilakukan, tidak menimbulkan penyesalan, tapi membuahkan kegembiraan dan kebahagiaan.
(69).
Si dungu merasakan perbuatan jahatnya semanis madu, sepanjang buahnya belum masak; tapi ketika waktunya tiba, penderitaan pun datang padanya.
(70).
Berbulan-bulan orang dungu hanya makan sebanyak yang dapat diperoleh dengan ujung sebatang rumput kusa,* tapi nilainya tidaklah seperenambelas mereka yang telah mengerti kebenaran.**
*). Secara harafiah baris pertama berarti : berbulan-bulan, dengan ujung rumput kusa, orang dungu mengambil makanannya.
**). Puasa yang berlama-lama tapi tidak menghancurkan nafsu-nafsu tidak ada seperenambelasnya puasa seorang Ariya yang telah menembus empat kebenaran mulia.
(71).
Sungguh, suatu perbuatan jahat tidak akan segera berbuah, seperti halnya susu tidak langsung mengental; namun terjadi pelan-pelan, demikian pula perbuatan jahat itu akan mengikuti si dungu seperti api dalam sekam.
(72).
Sungguh, pengetahuan dan kemasyhuran yang dicapai si dungu membawa kehancuran bagi dirinya sendiri; merusak kecerdasannya, dan menghancurkan pencapaiannya.*
*). Merupakan kebijaksanaannya.
(73).
Si dungu mendambakan kedudukan yang tidak sesuai, menonjol di antara para biksu, berkuasa di wihara-wihara, dan terpandang oleh masyarakat.
(74).
"Semoga para biksu dan orang-orang tahu bahwa akulah yang mengerjakan semua ini. Tiap pekerjaan, besar atau kecil, biarlah orang menunjuk aku." Itulah dambaan si dungu; keinginan dan kesombongannya terus bertambah.
(75).
Sesungguhnyalah, ada jalan menuju dunia, ada pula jalan menuju Nibbana. Setelah mengerti hal ini, o para Biksu, siswa Buddha, jangan menikmati kesenangan duniawi, tapi berusahalah mencapai pembebasan.*
*). Pelepasan atau ketidakterikatan, yaitu: pelepasan jasmaniah dari khalayak ramai; pelepasan batiniah dari nafsu-nafsu dan pelepasan penuh dari segala yang berkondisi, atau Nibbana.